Senin, 21 Maret 2016

EKONOMI MAKRO ISLAM

PENGERTIAN,RUANG LINGKUP, PERBEDAAN MAKRO DENGAN MIKRO ISLAM, DAN DINAR DIRHAM
MAKALAH INI DI SUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH EKONOMI MAKRO ISLAM

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
RAHMALIA AFRIYANI    NIM: 1316120084
SITI MARYAM                    NIM: 1316120091
DOSEN PENGAMPU:
ORIN OKTASARI, M.H.I
FAKULTAS SYARI’AH DAN JURUSAN SYARI’AH
PRODI MUAMALAH VI B
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
T.A 2016

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-sehari, baik individu maupun masyarakat atau perusahaan secara keseluruhan akan menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi, yaitu persoalan yang menghendaki seseorang, suatu masyarakat atau perusahaan membuat suatu keputusan tentang cara terbaru melakukan suatu kegiatan ekonomi.
Didasari bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas dan alat pemenuhan kebutuhan tidak terbatas. Dan hal ini membuat manusia melakukan tindakan ekonomi. Untuk memecahkan dan melakukan tindakan ekonomi, manusia melakukan tindakan dengan cara memilih beberapa altrenatif. Hal ini yang menjadi motif dari kegiatan yang disebut motif ekonomi.
Dalam pandangan ekonomi islam, kebutuhan manusia itu terbatas yang tak terbatas adalah keinginan. Sedangkan alat pemenuhan keinginan tak terbatas kerena Allah S.W.T telah menciptakan bumi dan seisinya untuk kepentingan dan kemanfaatan hidup manusia. Seorang muslim dalam melakukan suatu kegiatan akan didasarkan pada suatu kegiatan tidak hanya berdasarkan kepuasan saja, akan tetapi berorientasi untuk beribadah kepada Allah S.W.T
Orientasi beribadah kepada Allah S.W.T akan membuat permintaan dan penawaran dalam ekonomi islam akan lebih sempit karena ada batasan yaitu adanya nilai-nilai, filosofi kehidupan islam dan norma islam. Adanya batasan dalam melakukan tindakan eksploitasi sumber daya alam, tujuan dari aktifitas ekonomi adalah memenuhi kebutuhan ada untuk mencapai kesejahteraan.



PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Ekonomi makro adalah Cabang ilmu ekonomi yang menelaah perilaku dari perekonomian atau tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan (agregat) termasuk di dalamnya faktor-faktor yang memengaruhi kinerja perekonomian. 
Menurut Chapra, salah satu masalah utama dalam kehidupan sosial dimasyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonominya.
RUANG LINGKUP
·                     Pendapatan Nasional 
·                     Neraca pembayaran dan Kurs valuta asing
·                     Inflasi 
·                     Pengangguran dan kesempatan kerja
·                     Investasi nasional (pemerintah dan swasta) 
·                     Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
·                     Anggaran pemerintah 
·                     Kebijakan fiskal dan sistem perpajakan
·                     Kebijakn moneter dan jumlah uang yang beredar 
·                     Tingkat bunga
·                     Tabungan nasional
PERBEDAAN EKONOMI MAKRO DENGAN MIKRO ISLAM
Berikut adalah pengertian dan perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro:
 EkonomiMakro
            Ekonomi Makro, mengkaji mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel yang juga berdampak atas beragam tindakan pemerintah tersebut, antara lain: pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupunneracapembayaraninternasional.
EkonomiMikro
            Ekonomi Mikro, mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Ekonomi mikro juga mempelajari bagaimana berbagai keputusan dan perilaku tersebut memengaruhi penawaran dan permintaan atas barang dan jasa, yang akan menentukan harga; dan bagaimana harga, pada gilirannya, menentukan penawaran dan permintaan barang dan jasa selanjutnya.

DINAR DIRHAM
Secara bahasa, dinar berasal dari kata denarius (Romawi Timur) dan dirham berasal dari kata drachma (Persia). Menurut hukum Islam, uang dinar yang dipergunakan adalah setara 4,25 gram emas 22 karat dengan diameter 23 milimeter. Standar ini tela ditetapkan pada masa Rasulullah dan telah dipergunakan oleh World Islamic Trading Organization (WITO) hingga saat ini. Sedangkan uang dirham setara dengan 2.975 gram perak murni. Dinar dan dirham adalah mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya (Sanusi, 2002).
Dampak Penggunaan Uang Dinar dalam Perdagangan Internasional 
Penggunaan uang dinar merupakan suatu solusi atas perekonomian dunia yang menggunakan uang fiat. Penggunaan uang fiat menimbulkan ketidakstabilan perekonomian dunia, untuk mengatasi hal itu dibutuhkan mata uang yang lebih stabil, yaitu dinar emas. Pada tahun 1250 M/648 H di negara Mesir uang dinar yang dijadikan sebagai dasar moneter pernah dipengaruhi oleh penggunaan uang fulus, yaitu uang campuran dari kuningan dan lembaga. Penggunaan uang fulus dan ditambah oleh kondisi perekonomian yang buruk telah menyebabkan harga yang tidak stabil. Untuk mengatasi hal tersebut Al-Maqrizi (768-845 H) dalam bukunya Ighotsatul Ummah bi Kasyfil Ghummah menjelaskan kondisi tersebut secara terperinci serta memberikan jalan keluar bagi kondisi perekonomian Mesir pada waktu itu. Diantara pemikiran Al-Maqrizi tersebut adalah:
a.       Hanya dinar dan dirham yang bisa digunakan sebagai uang
b.      Menghentikan penurunan nilai uang (debasement of money), dan
c.       Membatasi penggunaan uang fulus
Penggunaan uang dinar dan uang domestik secara bersamaan akan menimbulkan terjadinya spekulasi nilai tukar antara uang kertas dan uang dinar yang pada akhirnya akan menyebabkan runtuhnya sistem uang dinar. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka diperlukan adanya pengaturan terhadap uang dinar itu sendiri, berupa (Siswantoro et al, 2002):
a.       Uang dinar hanya boleh digunakan untuk pertukaran barang dan jasa.
b.      Nilai moneter dari uang dinar harus lebih tinggi dari nilai intrinsiknya.
c.       Penggunaan uang dinar diperlukan adanya peran dari bank sentral untuk mengontrol dan menentukan jumlah dinar yang eksis dan yang beredar.
Alasan dan Keunggulan dari Penggunaan Uang Dinar
Ada beberapa alasan dari penggunaan mata uang dinar Islam dalam menuju stabilitas sistem moneter, antara lain:
1.      Uang yang stabil. Perbedaan uang dinar dengan uang fiat adalah kestabilan nilai uang tersebut.
2.      Alat tukar yang tepat
3.      Mengurangi spekulasi, manipulasi dan arbitrase.
Penerapan uang dinar dalam perdagangan internasional, antara lain:
1.      Peran Uang Dinar dalam Perdagangan
2.      Penggunaan Dinar Emas
Peraturan tentang Penerapan Uang Dinar dalam Perdagangan Internasional
Ada tiga aturan yang berkenaan dengan menggunakan uang dinar dalam perdagangan internasional (Thani, 2003), yaitu:
1.      Internasional Legal Impediments
2.      Financial Infrastructure
3.      Dispute Settlement
Keuntungan dari Penggunaan Dinar dalam Perdagangan Internasional:
1.      Mengurangi dan menghapus resiko nilai tukar.
2.      Penggunaan dinar akan mengurangi terjadinya spekulasi, manipulasi, dan arbitrasi terhadap mata uang nasional.
3.      Penggunaan dinar akan mengurangi biaya transaksi perdagangan (transaction coast) dan meningkatkan perdagangan.
4.      Penggunaan uang dinar dalam perdagangan akan meningkatkan perdagangan yang pada akhirnya akan meningkatkan kerjasama antarnegara peserta.
5.      Penggunaan uang dinar dalam perdagangan internasional akan mengurangi soverreignty (kekuasaan).







PENUTUP

Kesimpulan:
Ekonomi makro adalah Cabang ilmu ekonomi yang menelaah perilaku dari perekonomian atau tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan (agregat) termasuk di dalamnya faktor-faktor yang memengaruhi kinerja perekonomian
PERBEDAAN:
Ekonomi Mikro: Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja).
Ekonomi Makro: Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan)
Dinar dan dirham adalah mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya (Sanusi, 2002).













DAFTAR PUSTAKA

Huda nurul, Ekonomi makro islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Prof. Dr. Soediyono Reksoprayitno, MBA., Pengantar Ekonomi Makro, BPFE Yogyakarta, 2000.
Abdul Jalil M.Ei. Ilmu Ekonomi Islam seri buku Darus, STAIN Kudus, Kudus, 2005.

Heri Soedarsono, Konsep Ekonomi Islam, Ekonisia, Yogyakarta 2002.

Rabu, 06 Januari 2016

MAKALAH

EKONOMI MIKRO ISLAM
EFISIENSI ALOKASI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
LIDYA PUSPITA SARI          NIM : 1316120072
RAHMALIA AFRIYANI        NIM : 1316120084
SITI ZUBAIDAH                    NIM : 1316120092
DOSEN PENGAMPU :
KHAIRIYAH ELWARDAH, M. AG

FAKULTAS SYARI’AH DAN JURUSAN SYARI’AH
PRODI MUAMALAH V B
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
T.A 2015

PENDAHULUAN
           
Distribusi pendapatan merupakan aspek terpenting karena berkaitan dengan bagaimana individu dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sumber daya yang efisien akan tercipta manakalah individu dapat mencapai titik kepuasan maksimal, dengan seadil-adilnya tanpa menzalimi individu yang lainnya. Dalam islam terdapat berbagai nilai dan norma-norma yang harus diperhatikan dalam hal pengalokasian maupun pendistribusian pendapatan. Nilai dan norma-norma inilah yang menjadikan berbeda dengan konvensonal. Islam memang mengenal adanya kepemilikan individu yang mana dengan kepemilikan tersebut individu bebas memanfaatkannya, namun harus digaris bawahi terkait kebebasan kepemilikan, dimana dalam kekayaan yang menjadi milik individu bukan merupakan suatu kepemilikan yang mutlak, karena dalam Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain termasuk hak orang miskin.
Jadi pada intinya sebelum mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya yang dimiliki terlebih dahulu mempertimbangkan dan memikirkan  kemaslahatan umat dan bukan self interest. Demikian halnya dalam pembahasan pada bab selanjutnya akan diuraikan mengenai pengalokasian secara efisiensi dan pendistribusian pendapatan dari konsep ekonomi umum (konvesional), kemudian perbandingannya dengan konsep efisiensi alokasi dan distribusi pendapatan menurut islam.
                                                       PEMBAHASAN

A.    Efisiensi Alokasi
Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan defenisi efisiensi yang sama dengan defenisi ekonomi neoklasik, dimana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur  penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Iman Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “janganlah  kesejahteraan salah seorang diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utiliy nya tanpa mengurangi utility orang lain.
Katakanlah jono dan kirun mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian. Awalnya jono memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan kirun memiliki 3 unit makanan dan 5 pakaian. Bagi kirun, ia bersedia memberikan 3 unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Sedangkan bagi jono, ia bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Nah, karena jono lebih menyukai pakaian dari pada kirun, maka keduanya dapat lebih tinggi utility nya dengan melakukan pertukaran.
Selama MRS (marginal rate of subtitusion) dari jono dan kirun berbeda, maka mereka akan terus melakukan pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan utility nya, dengan kata lain, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika MRS setiap orang sama.

B.     Efisiensi dan keadilan
Efesiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang distribusi yang adil:
1.   Konsep Egalitarian : setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang sejumlah yang sama
2.   Konsep rawlsian : maksimal utility orang yang paling miskin
3.   Konsep utilitarian :maksimalkan utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat
4.   Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling adil.
Dalam konsep ekonomi islam, adil  adalah “ tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Bisa jadi “ sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras. Lihat saja contoh jono dan kirun, alokasi terakhir yang tidak efesien tidak “sama rata sama rasa”. Malah bila dipaksakan “ sama rata sama rasa” alokasinya tidak efesien karena mengabaikan kenyataan bahwa manusia mempunyai selera yang berbeda. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil dalam pandangan islam karena orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang endowment nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang lemah.
Misalnya umar ibn khattab r.a menetapkan tarif kharaj yang berbeda untuk lahan yang ditanami tanaman yang berbeda : untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya satu dirham ditambah satu qafiz, untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada tarifnya lima dirham. Begitu pula dalam pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur tunjangan pertahun Rasulullah SAW. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000 dirham, istri-istri Rasulullah 12.000 dirham, safiyah ibn Abdul mytalib 6000 dirham, Ali, Hasan, Husein, mujahid Badar masing –masing 5000 dirham, kaum Anshar mujahid uhud dan mujahirin ke Abisina masing-masing 4000 dirham, yatim ahli Badar 2000 dirham, dan seterusnya dan seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat bagiannya. Dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, imam Ali r.a. adalah untuk keadilan. Dalam konsep islam, bukan “sama rata sama rasa” yang penting bukan pula “ you get what you deserve”  yang penting adalah tidak ada yang di dzalimi dan tidak ada yang mendzalimi.
           Lebih dari sekedar efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi islam juga mendorong pada upaya membesarkan endowment ( meningkatkan  production possibility frontier) atau dalam konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Berkutat pada distribusi yang berkeadilan saja berarti suatu zero sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun turun 5, kenaikan total utility nihil. Oleh karena itu, konsep islam adalah mendorong terjadinya Positive sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun naik 5, kenaikan total utility 10. Jadi bukan hanya mempersoalkan “kue” akan dibagi secara adil, namun juga bagaimana “kue” yang akan di bagi bertambah besar.
C.    Distribusi Pendapatan
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Namun demikian, fikih klasik nampaknya hanya memberi pengertian secara etimologi saja yaitu “tauzii” (distribusi), belum ada pengertian tauzii secara terminologi yang cukup relevan dengan tema dalm ekonomi mikro islam.
Hingga kemudian, sebagian ekonomi muslim juga menulis tentang ekonomi islami dan melakukan "adaptasi" terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti yang dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79), Muhammad Afar (1996: 32), Umer Chapra (2000: 99), dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim pada umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim dengan berkaca pada adanya mekanisme zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan private (pribadi). Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan, pendapatan, dan harta. Milton H. spences menulis dalam bukunya contemporary economics: “ Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif ”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic dari distribusi pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah kerja seseorang, oleh sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan pada kapabilitas dan bakat setiap orang. Briton menyebutkan bahwa “ sosiolisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang menyangkut hidup orang banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan maksimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal yang paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Harus dipahami bahwa islam tidak menjadikan complete income equality untuk semua umat sebagai tujuan utama dan paling akhir dari system distribusi dan pembangunan ekonomi.  Namun demikian, upaya untuk mengeliminasi kesenjangan antar pendapatan umat adalah sebuah keharusan.
1. Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas,hak kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek hokum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian baghasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) seperti:
1.    Nafaqah               5.  Musaadah
2.    Zakat                    6.  Jiwar
3.    Udhiyah               7.  Diyafah
4.    Warisan
Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) seperti:
1.    Infaq                     2.  Aqiqah                   3.    Wakaf
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman), seperti:
1.    Kafarat                 2.  Dam/diyat              3.   Nudzur
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus di distribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah distribusi melalui instrumen zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa asset tersebut, ada 3 yaitu:
1.    Apakah asset itu di atas nisab.
2.    Kepemilikan sempurna.
3.    sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
2. Distribusi Pendapatan Dalam Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para sarjana muslim banyak membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level Negara terkait dengan, diantaranya: penjaminan level minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah kemampuan. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi ligkungan sosial maupun individu dengan pemafaatan sebesar-besarnya atas sumber daya yang tersedia. Karena itu negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, kesetaraan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam pengambilan keputusan dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak langsung kepada distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan dan belanja Negara, kebijakan fiskal dan moneter dengan basis hipotesis kepda ketidaksempurnaan pasaran teori-teori, yang berkaitan dengan moral hazard dan adverse selection.
a.      Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah (Negara) harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri. Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan untuk kepentingan Negara dan publik (hak hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang legalitasnya dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum Muslimin cukup berpengalaman  dalam menerapkan beberapa instrumen  sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national treasury).
Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain (ZISWA).  Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq, Sadaqah, Wakaf merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti sadaqah, infaq dan waqaf.
   ·Zakat
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang
melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima
zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba
sahaya, dan muallaf.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit Muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat  30
ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering
muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat (muzakki).
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi di berbagai segi
kehidupan, antara lain:
1)  Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2)  Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3)  Menekan jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan,
     pengemis, dan lain-lain;
4)  Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha.
    Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang minimal          sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
5)  Mendorong masyarakat untuk berinvestasi, dan tidak menumpuk hartanya
b.      Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas: produksi, konsumsi, dan distribusi. Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah bahwa pasar tak lebih sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar menekan seminimal mungkin mungkin peranan pemerintah (command economics). Pembenaran atas diperbolehkan pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi) hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi atau
distribusi yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya market failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: barang publik, eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), asymetrik information, biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam  distribusi. Dalam masalah yang lebih singkat, masuknya pemerintah adalah untuk menjamin fairness dan keadilan.
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan perataan pendapatan berdiri diaas empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-prinsip eequity yang menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-prinsip yang yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi keadaan dan situasi yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa selain mengupayakan mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram, ajaran islam juga menganut keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap kesejahteraan orang lain serta batas batas kesejahteraan yang seharusnya dinikmati pelaku pasar susuai dengan aturan syari’ah. Untuk hal tersebut instrument dikedepankan adalah zakat yang didisrtibusikan secara produktif.
        PENUTUP

            Dalam ekonomi konvensional, alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain. pada intinya ketika sumber daya yang ada telah habis teralokasi maka itu dikatakan efisien tanpa memperdulikan apakah itu adil atau tidak. Sedangkan dalam ekonomi islam, lebih memperhatikan nilai keadilan. Selain itu juga konsep ekonomi islam juga mendorong pada upaya peningkatan sumber daya, bukan hanya menghabiskan sumber daya untuk dialokasikan secara efisien.
            Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.
             

      DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman A. (2007), Ekonomi Mikro Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad, (2004), Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, Anggota IKAPI